DATE
8 – 21 Februari 2017.
DESCRIPTION
Jikalau Anda sempat menerakan nomor telepon seluler pribadi Anda di buku tamu pameran bertajuk “Following”, salah satu acara dalam rangkaian peristiwa seni yang sedang diselenggarakan oleh OK. Video – Indonesia Media Arts Festival tahun ini di Galeri Nasional Indonesia, bisa jadi Anda adalah salah seorang yang sudah menerima sebuah pesan singkat melalui SMS (Short Message Service), berisi penggalan kalimat Ugeng T. Moetidjo: “Senirupa yang biasa kita kenal umumnya berkutat pada soal representasi, sedangkan senirupa multimedia lebih mungkin dilihat dalam presentasi.”[1] Kalimat ini adalah penanda zaman dalam sejarah senirupa Indonesia—menyusul penanda-penanda terdahulu yang dengan sadar telah dicanangkan oleh Festival OK. Video dan beberapa kolektif seni lainnya sejak tahun 2000—karena pada saat itulah wacana untuk mengidentifikasi praktik-praktik kontemporer yang bersinggungan dengan teknologi secara lebih filosofis diperbincangkan dalam rangka memformulasikan gagasan “narasi mekanik” dan “narasi teknologis” sebagai pelengkap gagasan “narasi politis”.
Andang Kelana adalah seniman yang mengirim pesan tersebut. Karena ulahnya yang sedikit meng-copy praktik penipuan bermodus SMS “mama minta pulsa” itu, kita yang menerima SMS Andang, mau tak mau, tetap menjadi bagian dari pusaran peristiwa pameran meskipun sudah tidak lagi berada di dalam lingkungan Galeri Nasional Indonesia. Dalam konteks itu, karya Andang mengajak kita untuk “mengalami” daripada sekadar “mencerapi” karya imaterialnya.[2] SMS Andang setidaknya memicu refleksi kritis terhadap salah satu isu media saat ini, yaitu fenomena tentang ratusan (atau mungkin ribuan, bahkan jutaan) konten disinformatif yang setiap hari dikirimkan oleh oknum-oknum pemegang kendali mesin informasi. Karena kesukarelaan kita yang tanpa curiga terlanjur memberikan informasi pribadi (nomor telepon kita sendiri) kepada pihak lain, konten-konten yang belum tentu kita inginkan kemudian menyusup ke dalam gawai elektronik yang tersimpan di kantong celana atau tas pribadi kita masing-masing tanpa adanya daya dari kita untuk menolaknya.[3]
Karya Andang yang berjudul Message Inception (2017) itu adalah salah satu dari tiga belas karya seni media, dari tiga belas seniman, yang dikurasi oleh Mahardika Yudha untuk Pameran “Following” (tapi tak ada seorang pun seniman perempuan di dalamnya). Berlangsung dari tanggal 9 sampai 21 Februari, 2017, pameran ini membingkai lanskap praktik seni media di Indonesia yang sudah membentang sejak lebih dari satu dekade silam. Mulai dari karya yang masih menerapkan praktik analog, found object, atau yang memilih gaya ungkap berdasarkan pemetaan terhadap pengalaman personal, hingga karya yang benar-benar memanfaatkan kecanggihan teknologi digital dan komputer untuk menghasilkan kejutan-kejutan visual. Pada satu sisi, saya memandang bahwa pameran ini mencerminkan matangnya wacana seni Indonesia dalam mengartikulasikan persinggungan antara fenomena media, teknologi, dan kesenian, yang kini diabstraksikan ke dalam terma “seni media” (tanpa embel-embel “multi-“). Tapi di sisi yang lain, sebagaimana yang akan saya coba jelaskan nanti, pameran ini juga tengah menunjukkan kejenuhan tertentu yang menandakan adanya krisis berkesenian di Indonesia pada era bermedia saat ini yang, pada faktanya, situasinya telah banyak berubah sejak pertama kali Festival OK. Video dicanangkan.
[…]
oleh Manshur Zikri via Jurnal Footage.
[1] Untuk meninjau keseluruhan isi teks, lihat Ugeng T. Moetidjo (2010), “Logika Mekanik dan Teknologis Seni Rupa Multimedia Indonesia”, dalam katalog pameran Influx: Strategi Seni Multimedia di Indonesia, Kurator: Hendri Wiyanto. (Jakarta: ruangrupa, 2011), hal. 22-28
[2] Ini menunjukkan salah satu kecenderungan yang acap kali kita temukan pada karya-karya yang berkutat pada soal “presentasi”, yakni “mengalami”, dan tidak lagi hanya berurusan pada masalah bagaimana publik bisa “mencerapi” pesan dari karya(-karya yang berkutat pada soal “representasi”).
[3] Tentu saja sekarang ini kita bisa mengatakan bahwa kita bukan tanpa daya untuk membendungnya, karena sudah ada teknologi perangkat lunak yang memungkinkan gawai elektronik mencegah pemiliknya untuk melihat konten-konten yang tak diinginkan. Akan tetapi, fenomena tersebut masih eksis hingga sekarang dan dua tahun lalu tindakan penipuan semacam itu masih saja memakan korban.
Galeri Nasional Indonesia
Mahardika Yudha
"Following", OK. Video